Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Wakaf Hasan

Mad menurut etimologi berarti tambahan. Menurut istilah tajwid berarti memanjangkan suara sewaktu membaca huruf mad atau huruf layin jika bertemu dengan hamzah atau sukun. Huruf mad ada tiga, yaitu alif, wau dan ya. Syarat mad: Huruf sebelum wau berbaris damah, sebelum ya berbaris kasrah dan sebelum alif berbaris fathah. Jika huruf yang sebelum ya atau wau sukun itu berbaris fathah, tidak disebut huruf mad, akan tetapi disebut dengan huruf layin.

Mad Tabii atau mad asli, yaitu bila huruf yang setelah mad bukan huruf hamzah atau sukun. Dinamakan tabii karena mad tersebut merupakan sesuatu yang tabii (alami), kadarnya tidak kurang dan tidak lebih. Aturan membacanya sepanjang dua harakat. Huruf mad tetap eksis di saat washal atau wakaf, baik huruf mad itu terletak di tengah seperti pada kata( ظ…ط§ظ„ظƒ ) ( ظٹظˆطµظٹظƒظ… ) atau di akhir seperti pada kata( ط§ظ„ط´ظ…ط³ ظˆط¶ط­ط§ظ‡ط§ ). Syarat mad tabii adalah tidak terdapat huruf hamzah atau sukun setelah huruf mad tersebut.

Mad asli atau tabii bisa terjadi pada shilah shughra, yaitu huruf wau kecil yang terdapat setelah ha dhamir yang berbaris damah dan ya kecil yang terdapat setelah ha dhamir yang berbaris kasrah. Agar ha dhamir bisa disambung dengan wau atau ya, disyaratkan agar huruf itu harus terdapat di antara dua huruf yang berharakat, seperti( ط¥ظ†ظ‡ ظ‡ظˆ ) ( ط¨ظ‡ ط¨طµظٹط±ط§ ).  Dalam hal ini, wau dan ya dibaca panjang, dua harakat (dengan syarat tidak terdapat huruf hamzah pada kata lain) ketika washal, sedangkan ketika wakaf tidak dibaca panjang.
Mad asli atau tabii bisa juga terjadi pada huruf mad yang eksis ketika wakaf dan hilang ketika washal. Hal ini terjadi pada huruf alif pengganti tanwin (fathatain) seperti( ط¹ظ„ظٹظ…ظ‹ط§ ط­ظƒظٹظ…ظ‹ط§ ),jika berhenti pada huruf alif( ط­ظƒظٹظ…ظ‹ط§ ).
Hal mana mad akan hilang bila disambung dengan kata sesudahnya.

Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Kalkalah

Kalkalah menurut etimologi berarti getaran. Menurut istilah tajwid berarti getaran suara yang terjadi ketika mengucapkan huruf yang sukun sehingga menimbulkan semacam aspirasi suara yang kuat, baik sukun asli atau pun tidak. Huruf kalkalah ada lima, yaitu huruf-huruf yang tergabung dalam ( ظ‚ط·ط¨ ط¬ط¯ ) yaitu: huruf ط¬, ط¨, ط·, ظ‚ dan ط¯ . Syarat kalkalah: Hurufnya harus sukun, baik sukun asli atau yang terjadi karena berhenti pada huruf kalkalah.
Level kalkalah yang paling rendah terjadi apabila huruf kalkalah terletak di tengah-tengah kata. Seperti huruf qaf pada kalimat. ( ظˆط®ظ„ظ‚ظ†ط§ظƒظ… ط£ط²ظˆط§ط¬ط§ )
Level kalkalah yang sedang (pertengahan) terjadi apabila berhenti pada huruf kalkalah sedang huruf tersebut tidak bertasydid. Seperti huruf Thaa pada kalimat. (  ظˆط§ظ„ظ„ظ‡ ظ…ظ† ظˆط±ط§ط¦ظ‡ظ… ظ…ط­ظٹط· )
Level kalkalah yang paling keras terjadi apabila berhenti pada huruf kalkalah sedang huruf tersebut bertasydid. Seperti huruf qaf pada. ( ظ‚ط§ظ„ ط±ط¨ ط§ط­ظƒظ… ط¨ط§ظ„ط­ظ‚ )
Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Nun dan Tanwin

Nun sukun, : yaitu nun yang berbaris sukun yang bacaannya tergantung dengan huruf yang datang berikutnya. Nun tanwin (baris dua), yaitu nun sukun tambahan yang terdapat di akhir kata jika kata tersebut dilafalkan atau disambung dan hilang jika kata tersebut ditulis atau dijadikan tempat berhenti. Tandanya: Dua damah ( ظŒ ), dua fathah( ظ‹ )atau dua kasrah( ظچ ).
Nun sukun yang terjadi dari tanwin ini diperlakukan sama seperti nun sukun dalam cara membacanya. Catatan: Apabila ada nun sukun atau tanwin dan sesudahnya terdapat hamzah washal, maka kedua-duanya tidak boleh dibaca dengan izhar, idgham, iqlab atau ikhfa, akan tetapi harus dibaca kasrah untuk menghindari bertemunya dua huruf yang sukun, kecuali huruf nun pada( ظگظ…ظ† )–anggota huruf jar–, maka nun tersebut harus dibaca fathah untuk menghindari bertemunya dua huruf yang sukun, karena beratnya pindah dari baris kasrah ke baris fathah. Catatan lain: Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada nun sukun atau tanwin hanya terjadi pada waktu washal (bersambung) saja, bukan pada waktu wakaf (berhenti).
Iqlab menurut etimologi berarti merubah sesuatu dari bentuknya. Menurut istilah tajwid berarti meletakkan huruf tertentu pada posisi huruf lain dengan memperhatikan ghunnah dan penuturan huruf yang disembunyikan (huruf mim). Dinamakan iqlab karena terjadinya perubahan tuturan nun sukun atau tanwin menjadi mim yang tersembunyi dengan disertai dengung. Huruf iqlab hanya satu, yaitu baa.
Idgham menurut etimologi berarti memasukkan sesuatu ke dalam sesuatu. Menurut istilah tajwid berarti memasukkan huruf yang sukun ke dalam huruf yang berharakat sehingga menjadi satu huruf yang bertasydid. Idgham terbagi dua: – Idgham Bighunnah (disertai dengung) – Idgham Bila Ghunnah (tanpa dengung). Catatan: Idgham tidak terjadi kecuali dari dua kata. Huruf-huruf idgham ada enam, yaitu yang tergabung dalam kalimat( ظٹط±ظ…ظ„ظˆظ† ).
Idgham bighunnah mempunyai empat huruf, yaitu yang tergabung dalam kalimat( ظٹظ†ظ…ظˆ ), yaitu: ظ…, ظ†, ظٹ dan ظˆ . Apabila salah satu hurufnya bertemu dengan nun sukun atau tanwin (dengan syarat di dalam dua kata), maka harus dibaca idgham bighunnah, kecuali pada dua tempat, yaitu: pada ayat( ظٹط³ ظˆط§ظ„ظ‚ط±ط¢ظ† ط§ظ„ط­ظƒظٹظ… )dan( ظ† ظˆط§ظ„ظ‚ظ„ظ… ظˆظ…ط§ ظٹط³ط·ط±ظˆظ† )yang harus dibaca izhar mutlak, berbeda dengan kaedah aslinya. Hal ini sesuai dengan bacaan yang diriwayatkan oleh Imam Hafsh.
Idgham bila ghunnah mempunyai dua huruf, yaitu:( ط± )dan( ظ„ ). Apabila salah satu hurufnya bertemu dengan nun sukun atau tanwin (dengan syarat di dalam dua kata), maka bacaannya harus idgham bila ghunnah kecuali nun yang terdapat pada ayat( ظژظ…ظ† ط±ط§ظ‚ ), karena di sini harus dibaca saktah (diam sebentar tanpa bernafas) yang menghalangi adanya bacaan idgham.

Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Pertemuan dua huruf

Pertemuan antara dua huruf, baik secara lafal atau pun tulisan dapat terbagi ke dalam empat kasus, yaitu mitslain (identik), mutaqaribain (mirip-berdekatan), mutajanisain (sejenis) dan mutaba`idain (berbeda-berjauhan). Dalam konteks ini tidak dibahas hukum mutaba`idain, karena target yang ingin dicapai di sini adalah dapat mengetahui huruf-huruf yang wajib diidghamkan dan yang tidak. Hal ini tidak didapati dalam mutaba`idain. Catatan: Hukum izhar dan idgham pada mitslain, mutaqaribain dan mutajanisain hanya terjadi pada huruf pertama saja, bukan pada huruf yang kedua.

Mitslain adalah dua huruf yang sama makhraj dan sifatnya, seperti dua huruf ba atau dua huruf ta.
Mitslain Shaghir, disebut mitslain shaghir bila huruf yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Dinamakan saghir (kecil) karena huruf pertama sukun dan yang kedua berharakat, sehingga mudah diidghamkan. Aturan bacaannya : Wajib idgham kecuali jika huruf yang pertama mad, maka wajib dibaca izhar, seperti        ( ظ‚ط§ظ„ظˆط§ ظˆظ‡ظ… ), atau huruf pertama ha saktah, maka wajib dibaca izhar, karena adanya saktah tersebut menghalangi terjadinya asimilasi (idgham). Seperti ayat( ظ…ط§ظ„ظٹظ‡ ظ‡ظ„ظƒ ).

Mitslain Kabir, disebut mitslain kabir,bila huruf pertama dan kedua berharakat. Dinamakan kabir (besar) karena terdapat dalam Alquran dalam jumlah besar dan karena harakat jumlahnya lebih banyak dari sukun. Aturan bacaannya: Wajib izhar kecuali pada ayat( طھط£ظ…ظ†ط§ ), yang hukumnya idgham disertai isymam, yaitu memonyongkan dua bibir ke depan di waktu menyebut nun yang sukun pertama dan mengidghamkannya kepada nun yang kedua. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa baris asal dari nun itu adalah damah.( طھط£ظ…ظ†ظ‘ط§ )asalnya( طھط£ظ…ظ†ظ†ط§ )di mana nun pertama diidghamkan ke dalam nun kedua, maka jadilah( طھط£ظ…ظ†ظ‘ط§ ).
Mitslain Mutlak, disebut mitslain mutlak bila huruf yang pertama berharakat dan huruf yang kedua sukun. Dinamakan mutlak karena tidak terikat dengan ketentuan shaghir (kecil) dan kabir (besar).  Aturan bacaannya: Wajib izhar menurut pendapat ahli-ahli qiraat.

Mutaqaribain, disebut mutaqaribain bila bertemu dua huruf yang makhraj dan sifatnya mirip, atau salah satu dari makhraj dan sifatnya saja.

Mutaqaribain Shaghir, yang dimaksud dengan istilah ini adalah pertemuan dua huruf, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Dinamakan shaghir (kecil) karena huruf yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Aturan bacaannya adalah izhar (menurut Imam Hafsh dan Imam qiraat lainnya).  Khusus mengenai lam dan ra bila bertemu, maka wajib dibaca idgham menurut kesepakatan ahli qiraat. Contohnya( ط¨ظ„ ط±ظپط¹ظ‡ ط§ظ„ظ„ظ‡ – ظ‚ظ„ ط±ط¨ ) kecuali pada   ( ط¨ظ„ ط±ط§ظ† ).  Aturan bacaannya ialah izhar karena adanya saktah (menurut Imam Hafsh ) yang menghalangi terjadinya proses asimilasi/idgham.

Mutaqaribain Kabir, yang dimaksud dengan istilah ini adalah pertemuan dua huruf yang pertama dan kedua berharakat. Dinamakan kabir (besar) karena terdapat dalam Alquran dalam jumlah besar dan jumlah harakat lebih banyak dari sukun. Aturan bacaannya ialah wajib izhar.

Mutaqaribain Mutlak, yang dimaksud dengan istilah ini adalah pertemuan dua huruf, yang pertama berharakat dan yang kedua sukun. Dinamakan mutlak karena tidak terikat dengan ketentuan shaghir (kecil) dan kabir (besar).  Aturan bacaannya ialah wajib izhar.

Mutajanisain, disebut mutajanisain bila dua huruf bertemu di mana makhrajnya sama, sedangkan sifatnya berlainan, seperti huruf dal dan ta.
Mutajanisain Shaghir, disebut mutajanisain shaghir bila huruf yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Dinamakan shaghir (kecil) karena huruf yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Aturan bacaannya ialah wajib izhar, kecuali pada enam tempat yang harus dibaca idgham, yaitu: 1. Huruf ba dan sesudahnya huruf mim pada ayat( ط§ط±ظƒط¨ ظ…ط¹ظ†ط§ ) 2. Huruf ta dan sesudahnya huruf dal, seperti( ط£ط«ظ‚ظ„طھ ط¯ط¹ظˆط§ ) 3. Huruf ta dan sesudahnya huruf tha, seperti( ط¥ط° ظ‡ظ…طھ ط·ط§ط¦ظپطھط§ظ† ) 4. Huruf tha dan sesudahnya huruf dzal, seperti( ظٹظ„ظ‡ط« ط°ظ„ظƒ ) 5. Huruf dal dan setelahnya huruf ta, seperti( ظˆظ…ظ‡ط¯طھ ) 6. Huruf dzal dan sesudahnya huruf zha, seperti( ط¥ط° ط¸ظ„ظ…طھظ… ). Adapun huruf tha yang sesudahnya huruf ta, seperti( ط£ط­ط·طھ ) aturan bacaannya adalah idgham naqish menurut kesepakatan ahli qiraat.
Mutajanisain Kabir, disebut mutajanisain kabir bila kedua hurufnya berharakat. Dinamakan kabir (besar) karena terdapat dalam Alquran dalam jumlah besar dan karena persentase huruf yang berharakat lebih besar dari huruf yang sukun. Aturan bacaannya ialah wajib izhar.
Mutajanisain Mutlak, disebut mutajanisain mutlak, bila huruf yang pertama berharakat dan yang kedua sukun. Dinamakan mutlak karena tidak terikat dengan ketentuan shaghir (kecil) dan kabir (besar). Aturan bacaannya ialah wajib izhar.

Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Nun dan Mim

Nun dan mim bertasydid, yaitu setiap nun atau mim yang bertasydid. Huruf yang bertasydid pada dasarnya berasal dari dua huruf, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat.
Mim bertasydid berasal dari dua mim, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Mim yang pertama dimasukkan/berassimilasi ke dalam mim yang kedua, maka terjadilah satu huruf yang bertasydid. Hukum mim tasydid harus dibaca ghunnah dua harakat. Mim yang bertasydid juga disebut tasydidul ghunnah.
Nun bertasydid berasal dari dua huruf nun, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Nun yang pertama dimasukkan/berassimilasi ke dalam nun yang kedua, maka terjadilah satu huruf yang bertasydid. Hukum nun tasydid harus dibaca ghunnah dua harakat. Nun yang bertasydid disebut juga tasydidul ghunnah.
Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Definisi Aqidah

‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ)  yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.

[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah ازوجلّ dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Pembagian Aqidah Tauhid

Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga: Tauhid Al-Asma’ was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. dalam dzat, asma maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: “Qadar adalah kekuasaan Allah”. Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]

Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Oleh: amar lubai | 16 April 2009

Allah swt

Allah (Allaahu) ( الله ) adalah kata dalam bahasa arab yang merujuk pada “tuhan“. Kata ini lebih banyak dikenal sebagai sebutan tuhan oleh penganut agama Islam. Kata ini sendiri dikalangan para penutur bahasa arab, adalah kata yang umum untuk menyebut tuhan, terlepas dari agama mereka, termasuk penganut Yahudi dan Kristen arab. Konsekuensinya, kata ini digunakan dalam terjemahan kitab suci agama Kristen dan Yahudi yang berbahasa arab, sebagaimana pula terjemahan Alkitab dalah bahasa Indonesia dan Turki. Allah disebutkan lebih dari 2000 kali dalam Al-Qur’an.

Nama Allah

Berdasarkan keterangan : Allaahu ismun li dzaatil wajibul wujuud artinya : Allah itu adalah sebuah nama kepada sesuatu yang pasti ada keberadaannya (eksistensi). Jadi jelaslah Allah itu adalah sebuah nama kepada sesuatu yang wajib untuk dilayani dengan sebenar-benarnya, karena berdasarkan keterangan: Allaahu ismun li dzaati ma’budi bi haqq artinya : Allaah itu adalah sebuah nama kepada sesuatu yang wajib dilayani (ma’budi) dengan sebenar-benarnya pelayanan (ibadah).

Etimologi

Beberapa teori mencoba menganalisa etimologi dari kata “Allah”. Salah satunya mengatakan bahwa kata Allāh (الله) berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh (tuhan) sehingga berarti “Sang Tuhan”. Namun teori ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma’rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A’la al-Maududi dalam Mushthalahatul Arba’ah fil Qur’an (h. 13) dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu’ashirah (h. 54). Kedua penulis tersebut bukannya menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai bentuk ma’rifat dari ilah. Dalam bahasa Arabpun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim ma’rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma’rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma’rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.[1]

Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā.[2] Cendekiawan muslim terkadang menerjemahkan Allah menjadi “God” dalam bahasa Inggris. Namun demikian, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan gender (berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al Qur’an.

Tifografi

Kata Allāh selalu ditulis tanpa alif untuk mengucapkan vowel ā. Ini disebabkan karena ejaan Arab masa lalu berawalan tanpa alif untuk mengeja ā. Akan tetapi, untuk diucapkan secara vokal, alif kecil selalu ditambahkan di atas tanda saddah untuk menegaskan prononsiasi tersebut.

Allah dalam islam

Dalam Islam, Allah adalah satu-satunya tuhan (tanpa sekutu) 112:1, sang pencipta, tuhan dari Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Yakub, sebagaimana juga tuhan dari Musa, Dawud, Sulaiman, Isa dan Muhammad (semoga rahmat dan shalawat dilimpahkan kepada mereka semua).

Menurut F.E. Peters, ” Al Qur’an menyatakan 29:46, Muslim memercayai, dan sejarawan menyetujui, bahwa Muhammad dan pengikutnya menyembah tuhan yang sama dengan yang disembah Yahudi”. Allah-nya Al Qur’an adalah tuhan sang pencipta yang ada dalam kisah Ibrahim. Peters mengatakan bahwa Al Qur’an menggambarkan Allah lebih berkuasa dan jauh dibandingkan dengan Yahweh, dan juga merupakan tuhan universal, tidak seperti Yahweh yang lebih dekat dengan bangsa Israel.[3]

Dalam tradisi Islam disebutkan ada 99 nama untuk Allah (Asmaaul Husna), diambil dari nama-nama yang digunakan Al Qur’an untuk merujuk kepada Allah. [4] Diantara nama-nama tersebut adalah :

  • Al Malikul Mulk (Raja diRaja, Maharaja)
  • Al Hayy (Maha Hidup)
  • Al Muhyii (Maha Memberi Kehidupan)

Frase yang mengandung Allah

Contoh kata-kata yang menggunakan kata Allah:

  • Laa ilaaha illallaah (Tiada tuhan selain Allah)
  • Allaahu Akbar (الله أكبر) (Allah maha besar)
  • Bismillaah (بسم الله ) (Dengan nama Allah)
  • In syaa Allaah (إن شاء الله) (Jika Allah menghendaki)
  • Maa syaa Allaah (ما شاء الله) (Kata yang biasanya diucapkan jika melihat sesuatu yang aneh (ganjil) terkadang diganti dengan kata “subhan Allah”)
  • Subhanallaah (سبحان الله) (Maha suci Allah)
  • Alhamdu li llaah (الحمد لله) (Segala puji bagi Allah)
  • Allahu a’lam (الله أعلم) (Allah maha mengetahui)
  • Jazaa kallaahu khairan (جزاك الله خيراً; ucapan pernyataan terima kasih yang sebenarnya berarti “Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadamu”)

sumber : id.wikipedia

Oleh: amar lubai | 15 April 2009

Prasyarat Ustadz

Sering kali, kami melihat di TPQ-TPQ ada yang mengajari santri/anak didik/murid, hanya sekadarnya saja, tidak memperhatikan hal-hal penting yang menyangkut Al Qur’an dan Ilmu-ilmunya, seperti ketidak-tepatan mengajari Makharijul huruf, Ilmu Tajwid, bahkan mengajari untuk melagukan ayat atau hadits atau syair dengan mengabaikan Tajwid dan bahasa Arab. Hal ini disamping tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Al Qur’an juga akan menjadi “Investasi Kesalahan” di masa-masa yang akan datang bagi Orang tua maupun guru.

Apa jadinya bila si anak tidak dapat mengucapkan huruf “dzal, za, da” dengan benar ketika membaca al fatihah? maka dapat dipastikan ada kesalahan atau Lakhnu atau Khatha’ pada bacaan surat Al fatihah yang berakibat kepada batal-nya shalat si Anak !!

Untuk itu, bagi orang tua atau lembaga TPQ bila ingin merekrut Guru TPQ hendaknya diperhatikan persyaratan atau kualifikasi minimal yang harus dimilikinya, antara lain:

Persyaratan minimum untuk dapat mengajarkan Al Qur’an dengan Baik dan Benar Syarat–Syarat Guru (Al-Qur’an): Syarat Pokok/Utama :

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Cerdas
  5. Dapat dipercaya
  6. Bersih dari sebab-sebab fasiq dan yang menggugurkan kewibawaan
  7. Tidak mengajarkan (Al-Qur’an) kecuali dari apa yang dia mengerti dan dia fahami.

Syarat kemampuan sangat dianjurkan, menguasai dan mempunyai kemampuan :

  1. Ilmu Al Qur’an, seperti Ilmu Qira’at, Ilmu Tajwid/Ahkam Tilawah.
  2. Bahasa Arab, untuk memahami Al qur’an harus dimulai dengan memahami bahasa-nya (yaitu bahasa Arab). Al qur’an menggunakan tasybih (penyerupaan), membuat amtsal(perumpamaan) dan ithnab (penjabaran) sesuai dengan temanya untuk tujuan penjelasan. Al qur’an juga menggunakan bahasa langsung (kelihatan fa’il atau dhamir-nya) tetapi juga Mnggunakan bahasa tidak langsung (ghaib) juga menggunakan Ta’rif (sesuatu yang tertentu/ma’rifat) atau juga menggunakan Tankir (sesuatu yang umum/nakirah) (Kaifa Tuhfadhul Qur’anal Karim- Alqawaidu Adzahbiyatu li hifdhil Qur’an – Raghib as Sirjani). Hal ini tidak dapat dipahami oleh ustadz/ustadzah atau pengasuh TPQ bila tidak mengerti Bahasa Arab. Disamping itu juga diperlukan kemahiran dalam membaca kamus Arab-Indonesia.
  3. Tahu dan Dapat membaca Kitab Tafsir, Seseorang tidak boleh menafsirkan Al qur’an bila tidak mempunyai ilmunya. Jalan paling aman adalah dapat membaca Kitab Tafsir, namun juga diperlukan kemampuan bahasa Arab untuk membaca kitab tafsir yang biasanya tidak ada harakat-nya (gundul)/kitab kuning, meskipun juga ada Kitab Tafsir terjemahan.
  4. Ilmu Pendukung lainnya yang mendukung proses pembelajaran (institusional) seperti Aqidah, Fiqh, Ilmu Hadits, Sirah/sejarah dan Ilmu mendidik seperti Psikologi pendidikan.

Sumber : aai, jatiqo, gus arifin

Oleh: amar lubai | 15 April 2009

Kompetensi Santri

Muwashofat/ Skill/ Kompetensi

  1. Santri mampu memahami bentuk-bentuk huruf Al Qur’an
  2. Santri dapat membaca dalam bentuk sambung, berharokat tanwin  dan dapat membedakan panjang  dan pendek
  3. Santri dapat membaca huruf-huruf bersukun
  4. Santri dapat menguasai bacaan dengung dan  fawatihusuwar
  5. Santri dapat menguasai bacaan ghunnah, lafadh Allah, waqaf dan qalqalah
  6. Santri dapat mengaplikasikan pelajaran jilid 1 sampai dengan jilid 5 dengan lancar
  7. Santri dapat menguasai bacaan idzhar
  8. Santri mengetahui bacaan-bacaan hati-hati dalam Al-Qur’an
  9. Santri memahami tajwid

Oleh: amar lubai | 15 April 2009

Wakaf

Wakaf menurut etimologi berarti berhenti/menahan. Menurut istilah tajwid berarti memutuskan suara di akhir kata untuk bernafas sejenak dengan niat meneruskan bacaan selanjutnya.
Wakaf  Lazim
Wakaf Lazim (harus), yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Wakaf Lazim disebut juga Wakaf Taam (sempurna) karena wakaf terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tandanya:( ظ… ).

Wakaf  Ja’is
Wakaf Ja’iz (boleh), yaitu bacaan yang boleh washal (disambung) atau wakaf (berhenti). Wakaf jenis ini terbagi dua, yaitu yang terkadang disambung lebih baik dan yang terkadang berhenti lebih baik.
Wakaf  Kafi
Wakaf Kafi (cukup), yaitu bacaan yang boleh washal atau wakaf, akan tetapi wakaf lebih baik daripada washal. Dinamakan kafi karena berhenti di tempat itu dianggap cukup tidak membutuhkan kalimat sesudahnya sebab secara lafal sudah tidak ada kaitannya. Tandanya:( ظ‚ظ„ظٹ ).
Wakaf  Tasawi
Wakaf Tasawi (sama), yaitu tempat berhenti yang sama hukumnya antara wakaf dan washal. Tandanya:( ط¬ ).
Wakaf  Hasan
Wakaf Hasan (baik), yaitu bacaan yang boleh washal atau wakaf, akan tetapi washal lebih baik dari wakaf. Dinamakan hasan (baik) karena berhenti di tempat itu sudah baik. Tandanya:( طµظ„ظٹ ).
Wakaf  Muraqabah
Wakaf Muraqabah (terkontrol) yang disebut juga ta`anuqul-waqfi (wakaf bersilang), yaitu terdapatnya dua tempat wakaf di lokasi yang berdekatan, akan tetapi hanya boleh berhenti pada salah satu tempat saja.
Wakaf  Mamnuk
Wakaf Mamnuk (terlarang), yaitu berhenti di tengah-tengah kalimat yang belum sempurna yang dapat mengakibatkan perubahan pengertian karena mempunyai kaitan yang sangat erat –secara lafal dan makna– dengan kalimat sesudahnya. Oleh karena itu, dilarang berhenti di tempat seperti ini.          Tandanya: ( ظ„ط§ )
Saktah Lathifah

Saktah Lathifah (berhenti sejenak), yaitu memutuskan suara (selama dua harakat) di akhir kata tanpa bernafas. Tandanya:( ط³ )

« Newer Posts - Older Posts »

Kategori